Setelah menampung masukan dari tokoh adat di Kabupaten Agam, Komisi I DPRD Sumbar seminarkan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Tanah Ulayat, Rabu (11/1/2023).
Untuk diketahui seminar bertujuan untuk memperkaya muatan Ranperda Tanah Ulayat untuk melahirkan produk hukum daerah atau Perda yang mampu mengakomodir kebutuhan dan perlindungan terhadap pemegang hak ulayat.
Pada acara yang diselenggarakan di Ruang Sidang Utama DPRD Sumbar dihadiri oleh beberapa narasumber.
Antara lain Pejabat Fungsional Penata Pertanahan Muda Koordinator Inventarisasi dan Evaluasi Tanah Ulayat dan Hak Komunal Kementerian ATR/BPN Mira Wulandari, Ketua LKAAM Sumbar Fauzi Bahar, dan Akademisi FISIP Unand Bidang Sosiologi Afrizal.
Ketua LKAM Sumbar Fauzi Bahar mengatakan, negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat yang diatur dalam undang-undang.
Fauzi menyebut, hak menguasai dari negara tersebut pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekadar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah.
Sementara itu, Dosen Program Magister dan Doktor Sosiologi, FISIP Unand Afrizal mengatakan, menurut data penelitian dan publikasi tentang konflik tanah (tanah komunal) di Sumatera dan provinsi lain semenjak 2002, Sumbar masuk empat besar kasus tertinggi konflik penyerobotan lahan dengan 16 kasus.
Kasus penyerobotan lahan yang diterima meliputi, lahan digarap oleh perusahaan tanpa persetujuan, seperti tidak ada persetujuan karena tanah termasuk dalam kawasan hutan. Ada persetujuan, tetapi tidak dari para pemilik tanah.
Baca Juga:
Ranperda Tata Kelola Komoditi Unggulan Masuk Tahap Konsultasi Publik
“Ada juga hanya perizinan dari pimpinanan adat saja,” kata Afrizal.
Ketua Tim Pembahas Ranperda Tanah Ulayat Desrio Putra mengatakan, diadakannya seminar merupakan upaya untuk memperkuat dan mempercepat pengesahan Ranperda ini.
Ranperda Tanah Ulayat juga akan memproduktifkan lahan adat yang tidak berfungsi sehingga bisa dikerjasamakan dengan badan usaha dengan perjanjian yang tertuang dalam HGU.
Biasanya dalam kerjasama yang telah disepakati akan disertai dengan persoalan, HGU memiliki jangka waktu dalam perjanjian antara 25 hingga 30 tahun.
“Jadi menurut peraturan yang baru setelah HGU abis, tanah ulayat yang dikelola akan kembali ke negara, jadi kita berharap ketika HGU abis Tanah tersebut harus kembali kepada pemegang hak ulayat,” ujar Desrio.
Menurut Desrio, kedudukan pemegang ulayat akan diperkuat dalam Ranperda ini, ketika perjanjian HGU selesai akan ada dua kemungkinan, yaitu diperpanjang atau pemegang hak mengalihkan lahan pada badan usaha lain.
“Jadi harus dijelaskan apakah hak untuk pemegang hak ulayat akan lebih besar atau sama seperti sebelumnya, dalam konteks ini harus mengenakan kepentingan umum,” ungkap Desrio. (ril)