Legal tapi Merusak: Membaca Proyek Geothermal dari Perspektif Green Criminology

Legal tapi Merusak: Membaca Proyek Geothermal dari Perspektif Green Criminology

Hendriko Arizal (Foto: Dok Pribadi)

Oleh: Hendriko Arizal (Mahasiswa Program Studi Doktor Ilmu Hukum Universitas Andalas & Dosen Hukum Pidana Universitas Bung Hatta)

Proyek pembangunan energi terbarukan sebagai salah satu proyek prioritas semakin gencar didorong oleh pemerintah. Salah satunya dengan pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi (geothermal) yang tersebar di berbagai daerah, termasuk di Sumatera Barat. Menurut berbagai penelitian, energi geothermal disebut sebagai solusi ramah lingkungan karena menggunakan sumber daya panas bumi yang dapat diperbarui.

Akan tetapi, kenyataan di lapangan menunjukkan kondisi berbanding terbalik. Proyek geothermal justru menuai penolakan, terutama dari masyarakat adat dan aktivis lingkungan hidup. Mereka khawatir bahwa pembangunan ini akan menimbulkan kerusakan pada hutan, mata air, serta mengancam keanekaragaman hayati.

Jika dilihat dari aspek hukum, sejatinya proyek ini sudah memiliki landasan hukum yang jelas melalui izin yang dikeluarkan pemerintah sehingga secara hukum langkah yang dilakukan pemerintah memang tidak salah. Namun, jika dianalisis melalui pendekatan green criminology, maka proyek geothermal ini bukanlah sekadar “proyek energi bersih” saja, melainkan juga menyimpan potensi kejahatan lingkungan.

Sekilas Mengenai Green Criminology

Green criminology merupakan pendekatan dalam ilmu kriminologi yang berfokus pada kejahatan dan kerusakan lingkungan. Pemikiran mengenai green criminology dipelopori oleh Michael J. Lynch pada awal 1990-an. Dasar pemikirannya adalah bahwa kerusakan lingkungan merupakan konsekuensi interaksi manusia dengan lingkungan itu sendiri.

Berbeda dengan kriminologi konvensional yang membahas kejahatan dalam konteks manusia, green criminology memandang bahwa kerusakan ekosistem, eksploitasi sumber daya alam, dan penderitaan masyarakat akibat degradasi lingkungan juga merupakan bentuk kejahatan. Pendekatan yang digunakan dalam green criminology tidak hanya persoalan aspek legalitas semata, tetapi juga memperhatikan aspek ekologis. Artinya, sesuatu yang dianggap legal oleh hukum negara bisa dipandang sebagai kejahatan jika menimbulkan kerusakan ekologis dan sosial.

Geothermal di Sumatera Barat

Proyek geothermal yang ada di Sumatera Barat memperoleh legitimasi melalui kebijakan nasional yang mendorong pengembangan energi baru terbarukan. Salah satu proyek yang menonjol berada di kawasan Gunung Talang di Kabupaten Solok Selatan. Menurut pemerintah, wilayah tersebut memiliki potensi panas bumi yang tinggi. Pemerintah melihat proyek pembangunan geothermal sebagai langkah strategis untuk menambah pasokan listrik nasional dan mempercepat transisi energi bersih.

Namun, di balik legitimasi hukum terdapat persoalan mendasar terkait keadilan ekologis dan sosial bagi masyarakat lokal. Kawasan proyek geothermal di Sumatera Barat sebagian besar berada dalam zona hutan lindung yang berfungsi penting sebagai daerah tangkapan air dan penyangga ekosistem. Aktivitas eksplorasi yang dilakukan, seperti pembukaan akses jalan dan pengeboran sumur panas bumi, berpotensi mengubah struktur tanah dan menurunkan daya serap air.

Masyarakat di sekitar Gunung Talang yang bergantung pada sumber air pegunungan untuk pertanian dan kebutuhan sehari-hari mengkhawatirkan hilangnya sumber air bersih. Dampak semacam ini menunjukkan bahwa proyek yang sah secara hukum belum tentu sejalan dengan prinsip keberlanjutan ekologis.

Narasi pembangunan yang digunakan pemerintah dan investor menggambarkan proyek geothermal sebagai simbol kemajuan daerah dan wujud komitmen terhadap energi hijau. Namun, masyarakat justru menghadapi ancaman kehilangan ruang hidup dan akses terhadap sumber daya alam. Mereka menilai bahwa proyek tersebut lebih menguntungkan pihak luar ketimbang komunitas lokal.

Ketimpangan antara tujuan nasional dan kepentingan masyarakat lokal memperlihatkan adanya konflik nilai dalam penerapan konsep pembangunan berkelanjutan di daerah. Fenomena geothermal di Sumatera Barat dapat dibaca sebagai bentuk hidden green crime atau kejahatan lingkungan tersembunyi.

Kejahatan tersebut tidak tampak secara eksplisit karena dibungkus dengan wacana energi bersih dan legalitas perizinan. Padahal, praktik eksploitasi di kawasan lindung telah menimbulkan ancaman nyata terhadap keseimbangan ekosistem dan hak-hak ekologis masyarakat. Dalam perspektif green criminology, tindakan semacam ini termasuk dalam kategori lawful but awful, yakni perbuatan yang sah secara hukum tetapi merugikan secara moral dan ekologis.

Peran Negara sebagai Pelaku Potensial

Dalam analisis green criminology, pelaku green crime tidak hanya individu atau korporasi, tetapi juga negara. Pemerintah daerah maupun pusat dapat dipandang sebagai “aktor” jika mengabaikan penolakan masyarakat adat dan risiko ekologis demi kepentingan investasi. Negara bisa menjadi pelaku green crime jika mengeluarkan kebijakan atau izin yang secara sadar berpotensi merusak lingkungan.

Lebih lanjut, green criminology menjelaskan bahwa green crime bukan hanya soal pelanggaran hukum pidana semata, tetapi juga soal penderitaan sosial dan ekologis yang ditimbulkan. Kasus geothermal yang terjadi di Sumatera Barat hari ini menunjukkan dilema pembangunan berkelanjutan. Energi panas bumi memang penting, tetapi jika pelaksanaannya mengorbankan hutan lindung dan hak masyarakat, maka proyek tersebut berpotensi menjadi green crime.

Jika proyek geothermal terus dipaksakan, maka yang terjadi adalah kerusakan berlapis: hilangnya sumber air bersih bagi masyarakat, rusaknya ekosistem hutan lindung, dan konflik sosial. Semua ini adalah wujud penderitaan sosial-ekologis yang diabaikan oleh negara.

Seruan Keadilan Ekologis

Kasus geothermal menjadi ujian nyata bagi komitmen Indonesia terhadap prinsip pembangunan berkelanjutan. Hal ini ibarat seseorang yang ingin membersihkan diri, namun justru mengotori sumber airnya sendiri. Pembangunan yang mengatasnamakan energi hijau dapat kehilangan maknanya jika dilakukan dengan cara yang merusak alam dan menyingkirkan manusia.

Sudah saatnya kita meninggalkan cara pandang yang sempit sebatas legalitas formal dan mulai mengedepankan keadilan ekologis sebagai ukuran utama keberlanjutan. Pertanyaan yang seharusnya kita ajukan bukan lagi, “Apakah proyek ini legal?”, melainkan, “Apakah pembangunan ini benar-benar hijau, atau justru menyisakan jejak kerusakan yang permanen di balik label energi bersih?” (*)

Baca Juga

Politik Keuangan (Baru): Antara Disiplin Fiskal dan Tantangan Demokrasi Anggaran
Politik Keuangan (Baru): Antara Disiplin Fiskal dan Tantangan Demokrasi Anggaran
Ketika Kampus Hanya Tempat Mencari Gelar: Krisis Empati dan Kekerasan Struktural di Dunia Akademik
Ketika Kampus Hanya Tempat Mencari Gelar: Krisis Empati dan Kekerasan Struktural di Dunia Akademik
Resmi, Kongres VII IKA Unand Digelar 6 Desember 2025 di Padang
Resmi, Kongres VII IKA Unand Digelar 6 Desember 2025 di Padang
Inkubasi Bisnis Unand Buktikan Riset Bisa Jadi Bisnis, Raih Prestasi Nasional
Inkubasi Bisnis Unand Buktikan Riset Bisa Jadi Bisnis, Raih Prestasi Nasional
Anak Mahyeldi Pimpin PSI Sumbar, Pengamat: Memanfaatkan Popularitas Orang Tua
Anak Mahyeldi Pimpin PSI Sumbar, Pengamat: Memanfaatkan Popularitas Orang Tua
Badan Geologi Imbau Warga Waspadai Gunung Talang Meski Status Masih Normal
Badan Geologi Imbau Warga Waspadai Gunung Talang Meski Status Masih Normal