Siklus Hidup Manusia dan Tradisi yang Menyertainya

Siklus Hidup Manusia dan Tradisi yang Menyertainya

Fendi Agus Syaputra (Foto: Dok Pribadi)

Hidup manusia adalah rangkaian dari tahapan-tahapan yang berjalan linear. Prosesnya memiliki titik awal yang terus melaju menuju satu titik yang menjadi akhir dari perjalanannya. Kita tentu seringkali mendapatkan berita kelahiran, berita itu bisa saja datang dari salah seorang saudara, kerabat, atau juga rekan kerja. Kita tentu juga pernah merasakan atau mendapati berita duka saat salah seorang kenalan kita meninggal dunia. Kelahiran adalah titik awal dan kematian adalah titik akhir perjalanan manusia di dunia.

Siklus hidup secara sederhana dapat kita pahami sebagai proses perubahan dan perkembangan yang dialami oleh makhluk hidup. Siklus hidup manusia berarti kita bicara perubahan dan perkembangan yang dialami manusia. Dalam tulisan ini kita berbicara mengenai siklus hidup manusia, namun tidak sekedar dalam artian perubahan dan perkembangan biologis saja. Secara biologis kita tentu memahami siklus hidup manusia terlihat dari perubahan dan perkembangan fisiknya. Peristiwa kelahiran seorang bayi lalu bertumbuh menjadi anak-anak lantas menjadi dewasa dan kemudian menua hingga akhirnya meninggal. Kita akan menyelami siklus hidup manusia ini dari sisi sosial budaya yang mengikuti setiap perubahan hidup seorang manusia.

Fakta Sosial dalam Siklus Hidup Manusia

Ada sebuah teori klasik dalam kajian sosiologi yang dimunculkan oleh Emil Durkheim. Teori ini dikenal sebagai teori fakta sosial. Dalam teori ini Durkheim berargumen bahwa terdapat realitas di luar diri manusia yang bersifat umum dan memaksa. Fakta sosial ini mengkondisikan cara berfikir, cara merasa dan cara bertindak manusia. Manusia itu makhluk yang malang yang tidak memiliki free will atau kehendak bebas dalam menjalani hidupnya. Fakta sosial ini sudah ada dan mengikat individu ketika ia lahir ke dunia. Fakta sosial ini mengikuti seluruh rangkaian hidup manusia mulai dari ia lahir hingga kematian menghampiri. Wujudnya dapat berupa berbagai keharusan yang harus ditunaikan dan tersedia sanksi bila tidak mengindahkan.

Manusia adalah makhluk biologis dan sosial, artinya ia tidak hanya eksis sebagai organisme tapi juga sebagai makhluk sosial. Hal ini berarti ia tidak terlepas dari manusia-manusia lainnya serta nilai dan norma yang berlaku di dalam kehidupan sosial manusia itu. Manusia sebagai individu ketika dilahirkan secara otomatis menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat tempat ia dilahirkan. Dan saat ia bertumbuh, ia dipengaruhi (juga dapat mempengaruhi) nilai dan norma yang telah ada.

Siklus hidup manusia dapat kita lihat dalam tahapan-tahapan seperti lahir, kemudian menjadi anak-anak, menginjak masa remaja kemudian dewasa, dan kemudian meninggal dunia. Sadar atau tidak, semua tahapan tadi diikat dan diatur oleh berbagai macam nilai dan norma yang ada. Seluruh rangkaian tadi akan dipagari oleh berbagai kebiasaan yang menjadi tolak ukur normal atau tidaknya kehidupan seseorang. Saat rangkaian hidup tadi mengabaikan kebiasaan atau bahkan menentang kebiasaan yang sudah ada, maka bersiaplah dengan sanksi sosial yang menanti.

Saat manusia dilahirkan, peristiwa kelahirannya akan diikuti dengan tradisi-tradisi yang sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakat tempat ia dilahirkan. Orang tua si bayi memiliki semacam keharusan untuk menyelenggarakan tradisi-tradisi tersebut. Sebagai contoh, kelahiran seorang bayi di masyarakat Minangkabau di beberapa tempat akan diiringi dengan tradisi turun mandi. Tradisi ini dipercaya sebagai wujud rasa syukur keluarga si bayi karena Allah SWT telah mengizinkan bayi tersebut lahir dalam keluarga mereka. Acara ini juga menjadi cara untuk mengumumkan ke masyarakat bahwa telah lahir seorang bayi di lingkungan mereka. Saat bayi tadi tumbuh menjadi seorang anak-anak. Jika ia sebagai muslim atau penganut agama Islam berjenis kelamin laki-laki, maka nantinya ia akan menjalani khitan atau basunaik yang merupakan salah satu Sunnah Rasulullah. Khitan adalah proses bedah oleh ahli medis yang akan memotong ujung kulit yang menutupi kepala penis laki-laki. Tak ada masalah dengan khitan ini, tapi khitan ini biasanya akan diiringi dengan acara mandoa atau berdoa bersama dirumah keluarga yang sedang khitan dan akan disediakan jamuan, bahkan tak jarang juga diadakan baralek atau kenduri merayakan bahwa anak laki-laki mereka telah di khitan.

Saat anak-anak tadi kemudian beranjak dewasa, maka muncul tuntutan baru dari lingkungannya yakni menikah. Menikah yang seharusnya menjadi sebuah pilihan bagi seseorang malah berubah menjadi semacam keharusan. Masyarakat akan saling berbisik saat ada seorang laki-laki atau perempuan yang dianggap sudah usia menikah namun tak kunjung menikah. Akan beredar isu tak sedap, bahkan dianggap tak normal, menyimpang dan berbagai macam bisik-bisik lainnya yang tak sedap didengar. Jika kemudian memutuskan menikah, maka pernikahan juga akan terikat dengan tradisi. Pernikahan tidak hanya diatur dengan agama, Islam misalnya tetapi juga dengan tradisi-tradisi yang ada dalam masyarakat. Jika dalam Islam menikah itu syaratnya tidaklah sulit, kesediaan dari calon pasangan, restu dari orang tua perempuan, ada wali nikah perempuan, mahar, dan dua orang saksi, jika itu semua terpenuhi maka pernikahan bisa dilangsungkan dan dianggap sah. Namun, dalam praktiknya pernikahan juga diikat dengan tradisi. Ada berbagai macam acara yang dilaksanakan yang mengiringi pernikahan baik sebelum menikah, saat pernikahan, dan setelah menikah. Dan biayanya luar biasa besar, yang seringkali membuat orang jadi tak berani menikah.

Sebelum pernikahan misalnya, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi secara adat baik oleh calon mempelai laki-laki maupun perempuan. Syarat tersebut bisa berupa membelikan barang tertentu, menyerahkan uang, atau dalam bentuk syarat lainnya, yang jika syarat tadi tidak ditunaikan maka pernikahan bisa saja tidak dilangsungkan. Saat pernikahan pun seperti itu, ada semacam keharusan yang tidak tertulis bahwa acara pernikahan tidak hanya acara akad nikah saja tapi juga dengan baralek yang memakan biaya yang besar. Jika ada yang menikah dengan tidak mengindahkan tradisi-tradisi tadi, maka seringkali menjadi dikucilkan dan terpinggirkan.

Salah satu rangkaian hidup manusia adalah kematian. Tahapan ini adalah akhir perjalanan dari seorang manusia. Sayangnya, keluarga yang berduka tidak hanya ditinggalkan orang tersayang tetapi juga harus menanggung beban kebiasaan atau tradisi yang mengiringi meninggalnya seseorang. Kita tentu tidak asing dengan kebiasaan mendoa atau berdoa bersama yang dilangsungkan dirumah duka. Acara ini tidak hanya sekali namun berkali-kali, misalnya maniogo hari (hari ketiga dari waktu meninggal), manujuah hari (hari ketujuh), manduo kali tujuah (hari ke 14), maampekpuluah hari (hari ke-40), dan maratuih hari (hari ke-100). Disetiap acara mendoa itu keluarga yang berduka akan menjamu setiap orang yang hadir. Seringkali ada yang harus meminjam uang agar dapat menunaikan mendoa itu, karena biayanya yang begitu besar.

Kita tentu tidak masalah dengan tradisi atau kebiasaan yang ada dalam masyarakat. Keberadaannya adalah wujud dari kaya dan beragamnya budaya kita. Yang jadi permasalahan adalah saat tradisi tadi mewujud menjadi sebuah kewajiban yang justru membuat tradisi tadi menjadi beban. Mungkin ada yang berdalih “kami tidak pernah mendengar tradisi-tradisi tadi diwajibkan”. Memang tidak secara eksplisit, tapi respon kita terhadap mereka yang tidak menunaikan itu yang membuat tradisi tadi menjadi beban. Kita seringkali menganggap mereka yang tidak menunaikan sebagai orang yang tak paham adat, tak mencintai tradisi. Padahal bisa saja mereka yang tidak menunaikan itu memiliki kendala, semisalnya biaya.

Kita sebagai bagian dari masyarakat juga mestinya menanamkan kembali pemahaman yang tepat kepada masyarakat kita khususnya anak-anak kita. Kita harus mampu menempatkan tradisi tadi pada tempatnya, sehingga tradisi-tradisi kita dilihat sebagai kekayaan budaya bukan beban yang memberatkan. (*)

Penulis Fendi Agus Syaputra, M.Sos (Dosen Departemen Sosiologi FISIP Universitas Andalas)

Baca Juga

Kita Mulai dengan Bismillah
Kita Mulai dengan Bismillah
Vasko Ruseimy dan Kesempatan Emas Pembangunan Sumatera Barat
Vasko Ruseimy dan Kesempatan Emas Pembangunan Sumatera Barat
Guru Akuntansi: Pilar Utama Membangun Generasi Melek Finansial
Guru Akuntansi: Pilar Utama Membangun Generasi Melek Finansial
Otak Sebagai Benteng dari Kabut Demensia
Otak Sebagai Benteng dari Kabut Demensia
Batik Indonesia: Warisan Budaya di Persimpangan Globalisasi
Batik Indonesia: Warisan Budaya di Persimpangan Globalisasi
Dampak Gadget dan Pengawasan Orang Tua Sejak Dini
Dampak Gadget dan Pengawasan Orang Tua Sejak Dini