Sumbardaily.com, Padang Panjang – Di tengah deru modernisasi yang kian menguat, masih ada sosok yang gigih mempertahankan warisan budaya Minangkabau di Kota Padang Panjang, Sumatera Barat (Sumbar).
Arlen (61), seorang pengrajin Tarompa Datuak, dengan tekun menghabiskan hari-harinya mengolah kulit sapi menjadi alas kaki tradisional yang sarat nilai budaya di sebuah kedai sederhana di samping Puskesmas Pembantu Kelurahan Koto Katik, Kecamatan Padang Panjang Timur.
Tarompa Datuak bukan sekadar sandal biasa dalam tradisi Minangkabau. Kata "Tarompa" dalam bahasa setempat berarti sandal, sementara "Datuak" merupakan gelar terhormat yang disandang para pemangku adat dari suatu kaum atau suku.
Alas kaki ini menjadi pelengkap penting dalam berbagai upacara adat, menegaskan posisinya sebagai warisan budaya yang tak ternilai.
Bagi Arlen, kerajinan ini merupakan tapak sejarah keluarga yang telah melewati empat generasi. Bermula dari sang kakek, kemudian diteruskan oleh mamak (paman), dilanjutkan ayahnya, hingga kini berada di tangannya.
"Usaha ini adalah usaha turun temurun. Sekarang, saya berusaha agar usaha ini tetap hidup," ungkapnya dengan penuh semangat dilansir dari Kominfo Padang Panjang, Selasa (7/1/2025).
Proses pembuatan Tarompa Datuak membutuhkan ketelitian dan kesabaran tinggi. Tanpa bantuan teknologi modern, Arlen mengandalkan keterampilan tangan dan peralatan tradisional seperti pisau, palu, dan "pangukua karambia" atau parutan kelapa tradisional.
Proses dimulai dari pemotongan kulit sapi murni, pembentukan pola, hingga finishing yang membutuhkan ketelitian tinggi.
Dalam kondisi optimal, Arlen dapat menghasilkan empat pasang sandal per hari. Namun, untuk model dengan tingkat kerumitan tinggi, Ia hanya mampu menyelesaikan sepasang dalam sehari.
Bahan baku berupa kulit sapi diperoleh dari Rumah Pemotongan Hewan (RPH) di Silaing Bawah, meski terkendala harga yang cukup tinggi.
Tantangan terbesar yang dihadapi Arlen saat ini adalah membanjirnya produk Tarompa Datuak dari luar daerah di Pasar Padang Panjang. Hal ini berdampak signifikan pada penurunan permintaan produknya dalam dua tahun terakhir.
"Biasanya ada pesanan dari Batam, Bukittinggi, Batusangkar, bahkan ada yang dari Pulau Jawa. Sekarang sepi," tuturnya.
Meski demikian, komitmennya tak pernah goyah. Setiap hari, seusai mengerjakan ladang, Arlen membuka kedainya dari pukul 09.00 hingga 17.30 WIB.
"Kalau tidak membuat tarompa, saya justru merasa jenuh. Karena ini sudah menjadi bahagian dari hari-hari saya," ungkapnya sambil tersenyum.
Perjalanan Arlen dalam mempertahankan warisan budaya ini mendapat dukungan dari Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), yang membantunya mendirikan usaha mandiri setelah 15 tahun bekerja di Silaing.
Kini, dengan harga jual berkisar antara Rp200.000 hingga Rp250.000 per pasang, Ia terus berkarya meski tanpa nama usaha yang formal.
Sebagai ayah dari tiga anak perempuan, Arlen menyimpan harapan besar agar tradisi ini dapat berlanjut ke generasi berikutnya.
"Sayang sekali kalau tradisi ini punah. Padang Panjang harus punya kebanggaan dengan karya asli seperti ini. Tarompa Datuak bukan sekadar sandal, ini adalah jejak sejarah, simbol adat, dan bukti cinta terhadap warisan Niniak Mamak terdahulu," tegasnya.
Keberadaan Arlen dan karyanya menjadi pengingat pentingnya melestarikan warisan budaya di tengah arus modernisasi. Melalui setiap jahitan dan ukiran pada Tarompa Datuak, Ia tidak hanya menjaga tradisi, tetapi juga mempertahankan identitas budaya Minangkabau yang semakin tergerus zaman. (red)